#FIRZALI - EPISODE 1. KESIALAN ADALAH KEBERUNTUNGAN
Menebak cerita yang sudah kita ketahui endingnya terkadang membuat euforia yang
sebelumnya ada tiba-tiba berhenti. Begitulah perasaan Ali ketika berjalan
menyusuri lorong sekolah barunya yang panjang dan membosankan. Dia membayangkan
selama 3 tahun ke depan, sebagian besar waktunya akan dia habiskan di
kandang-kandang kecil bagaikan penjara yang memaksanya untuk mencatat dan
menghafal berbagai hal yang belum tentu bermanfaat bagi kehidupannya di masa
yang akan datang. Masa sekolah adalah area untuk bertaruh, jika mujur ilmumu
akan terpakai dan jika tidak, masyarakat akan menyalahkan otakmu yang tidak
becus memilih peruntungan. Dua minggu sejak seharusnya Ia mulai menginjakan
kaki di tempat itu, namun keadaan memaksanya untuk terlambat. Kembali dia
mengenang pekan yang dia habiskan di rumah sakit kemarin. Tanpa kawan, tanpa
hiburan, dan yang jelas tanpa kesiapan. Adiknya, Yaya, dalang dari semua
kejadian itu, memberinya semangat pagi ini dengan menyiapkan bekal roti dan
susu. Ali memutuskan untuk berhenti mengingat hal itu karena membuatnya risih
dan geli.
Tanpa
sadar, pandangannya beralih pada satu ‘kandang’ di sisi kirinya. Perlahan dia
mulai mendekat ke arah jendela. Ali mulai meragukan matanya, mana mungkin ada
pahatan semulus dan secantik itu dapat berbicara dengan senyum seindah bunga bermekaran
di taman? Di antara banyaknya sosok asing lain yang duduk di sekitarnya, hanya
dia yang terlihat bersinar. Kulitnya putih, bibirnya merah merekah. Rambutnya
yang hitam panjang diikat tinggi dan Ia terlihat mengenakan bandana putih untuk
menyibak poninya. Bidadari itu terus berbicara dan sesekali terlihat berpikir. Pandangannya
lurus ke depan menatap laki-laki yang berdiri dan membalas perkataannya.
Laki-laki separuh baya itu kemudian beralih menatap Ali. Nampaknya dia baru
mulai menyadari kehadiran murid lain di luar jendela kelasnya. Pria itu pun
langsung keluar dan menegur bocah yang mengintip tadi.
“Maaf Mas, ada keperluan apa?”
Sebagai wali kelas dari kelas tersebut, Sudirman tidak asing membaca nametag
yang tertera di kemeja murid asing itu. “Kuswandi? Kamu Ali Kuswandi yang ijin
tidak masuk 2 minggu itu ya?” Tanpa panjang lebar Sudirman menarik Ali ke dalam
ruangan yang Ali sebut kandang itu.
Sudirman dan Ali berdiri menghadap
murid-murid lain di serambi kelas. Suasana tidak begitu tegang, namun benak anak
lain mulai bertanya-tanya soal kedatangan murid yang absen berkepanjangan itu.
Banyak tebakan yang tergagas dalam pikiran mereka, mulai dari latar belakang
anak itu yang mungkin ada keturunan Arab karena hidungnya yang mancung dan
kulitnya yang kecoklatan, pertanyaan apakah anak itu berandal karena bajunya
yang kebesaran dikeluarkan, dan pendapat beberapa anak perempuan yang berpikir ‘cowok
ini boleh juga’ saat melihat tingginya yang semampai dan lesung pipitnya saat
tersenyum. Sementara Sudirman hanya berpikir bahwa anak di sampingnya sedang
kikuk menghadapi lingkungan baru dan memerlukan dorongan dari dirinya. Ali
sendiri cukup tertarik mengawasi keadaan di dalam kelas, kalau saja tidak ada
magnet yang cukup kuat menarik pandangannya ke satu titik tepat di tengah kedua
bola mata yang jernih itu.
“Maukah kamu menceritakan apa yang
terjadi 2 minggu kemarin sehingga kamu tidak bisa masuk sekolah, Ali?” Sudirman
mulai bertanya setelah memperkenalkan Ali sebelumnya.
Ali tidak langsung menjawab. Raut
mukanya langsung berubah, terlihat agak kesal. “Ada sedikit… masalah keluarga.”
Tensi di sekeliling ruangan agak mencekik mendengar jawaban Ali. Semua berpikir
bahwa mungkin mereka telah menanyakan pertanyaan yang salah. Tanpa bisa membaca
situasi, Ali kembali hanyut pada pertengkaran 2 minggu lalu.
-
2
minggu lalu di rumah Ali -
“Yaya, mumpung Mama baru tidur, Abang
mau pergi ke kantor pos dulu sebentar ya.” Ali berbisik pada adiknya yang
sedang duduk menonton TV. Dengan mematikan suara langkahnya, Ia cekatan
mengambil jaket yang tergeletak di senderan sofa dan berderap ke arah pintu
depan.
Yaya yang tadinya diam mulai
berkata, “Tapi Abang kan tadi disuruh Mama ngepel, cuci baju, cuci piring, sama
setrika buat ngelunasin tambahan uang jajan bulan lalu yang Abang minta buat
beli komik. Yang baru kelar baru cuci baju sama cuci piring doang, ngepel sama
setrika belum. Nanti mama marah kalo semuanya belum selesai. Nanti aku juga
kena marah enggak bisa ngawasin Abang.” Udah
gede tambah bawel aja, adek gue. Kayak emaknya. Ali berpikir dalam hati.
“Abang bakal cepet.” Dengan sekejap
Ali menyelinap dan berlari menuju pagar. Namun betapa kagetnya Ia mendapati
pintu pagar dibuka lebih cepat dari tangannya yang hendak menyentuh daun pintu.
Ayahnya masuk dengan tatapan tidak mengenakkan. Masih mengenakan pakaian kerja,
Rudi melihat gelagat mencurigakan anaknya yang hendak keluar membawa sebuah map
cokelat besar. Buru-buru dia menutup pagar di belakangnya.
“Mau ke mana kamu.” Gertak Rudi.
Pria berumur 41 tahun itu biasanya selalu membawa diri dengan ramah terhadap
rekan kerja dan tetangga rumahnya, namun sikapnya bisa berubah total bila
menyangkut anak laki-lakinya yang nakal. Ali pun sulit menghadapi ayahnya yang
seperti ini. Tingkahnya langsung gelagapan dan otaknya tidak cepat mengarang alasan.
“Apa itu?” Rudi menyambar amplop dari tangan Ali. Rudi mulai membaca formulir
yang diambinya dari dalam amplop cokelat itu, beserta halaman lampiran yang
berisi sketsa dan corat-coret untuk sebuah… komik. Dia kembali memperhatikan
wajah anaknya. Kali ini emosinya mulai naik. “Ayah sudah katakan berkali-kali.
Kenapa kamu nggak mau denger, sih!?” Ali mulai menundukan kepalanya. “Beberapa
bulan ini ngomongin komik melulu, katanya nggak mau masuk SMA dan maunya kursus
komik di Jepang, udah gila ya? Sekarang kamu bener-bener mau ngirim permohonan
kursus 2 tahun?? Pake uang apa? Kalo Ayah denger kamu mau pake uang buat daftar
masuk SMA, nggak akan Ayah akui lagi kamu sebagai anak, Ali!”
Tubuh Ali bergetar. Air matanya
sudah hampir menetes, tetapi Ia memaksa mulutnya untuk memohon sekali lagi pada
ayahnya. “Tapi Yah… Ali Cuma nggak mau membuang waktu buat yang nggak akan
berarti dalam hidup Ali. Ali Cuma mau menempuh jalan hidup yang Ali yakini Yah…"
“Masuk SMA nggak akan berarti dalam
hidup kamu gimana? Masuk SMA itu jauh lebih berarti dari gambar corat-coret ga
jelas kayak begini buat hidup kamu! Bisa nggak kamu bedakan keinginan sesaat
dan kebutuhan kamu sendiri? Mimpi itu jangan dibangun dengan sempit, Ali!
Pikirkan matang-matang. Yang Ayah benci itu kamu yang suka berpikir pendek
tanpa memikirkan akibat ke depannya! Gambar kayak gini?” Rudi mengacungkan
lampiran sketsa di tangannya ke depan wajah Ali. “Bagusnya masuk tong sampah!”
Tanpa menghiraukan anak lelakinya yang menangis di hadapannya, Rudi menyobek
lembaran-lembaran kertas itu dengan emosi yang meledak. Ali merasa hatinya
hancur berkeping-keping seiring dengan hancurnya sobekan kertas-kertas itu. Dia
mencoba berlari ke luar dan membuka pagar. Rudi menggertak dan
memperingatkannya dengan keras, “Terserah kamu mau kabur seperti dulu dan nggak
pulang lagi, Ayah kunci pintu depan sekalian biar kamu ga bisa masuk kalau
lapar!”
Begitu mendengar hal tersebut Ali
teringat masa kabur dari rumah terakhirnya yang berakhir naas dia tidur di teras
dan kelaparan sampai pagi. Ali juga melihat jalan depan rumahnya yang langsung
masuk ke jalan besar masih ramai truk berlalu-lalang di saat jam pulang kerja.
Ali takut akan tertabrak jika dia berlari ke jalanan sambil dikendalikan
emosinya sekarang, maka dia pun berbalik dan berlari ke dalam rumah dan
memutuskan untuk ngambek dengan mengunci pintu kamarnya. Hatinya padam dan
kepercayaannya telah hilang. Orang yang paling dia butuhkan untuk mengerti
keputusannya tidak memberinya kesempatan. Masa mudanya akan dia lewatkan dengan
hal yang tidak benar-benar dia inginkan. Dan semua ini salah ayahnya. Begitu
membuka pintu depan Ali berlari menuju kamarnya. Namun begitu akan menginjak
anak tangga pertama, kaki kirinya tergelincir oleh cairan licin di atas lantai.
Pikirannya pudar, berkelana ke naasnya nasib yang dia alami sekarang. Kejadian
itu terjadi begitu cepat, sebelum kepalanya menghantam kerasnya keramik lantai.
Ali tidak mampu berkata apa-apa di tengah kesadarannya yang menipis sambil
terkapar menatap langit-langit. Di ambang kesadarannya yang mulai pudar, Ia
melihat wajah Yaya yang menatapnya panik. “Yaampun Abang! Tadi Yaya inisiatif
mau bantuin Abang ngepel tapi enggak Yaya peres airnya karena jijik dan Yaya
pikir bakal kering sendiri toh enggak ada orang. Lagian kenapa sih masuk rumah
lari-lari???” Ajaibnya, tidak ada cidera kepala apa pun terjadi pada kepala Ali
yang keras dan Ia hanya membutuhkan perawatan keseleo pinggang di rumah sakit
selama dua minggu.
-Kembali ke kelas-
Flashback kecil itu terus membuat
hati Ali tidak enak. “Maaf.. mungkin saya tidak mau terlalu membahasnya.” Ucapnya
pada seisi kelas. Sudirman yang mencoba mengerti situasi mengiyakan permohonan
Ali dan cepat-cepat mengganti topik.
“Oke. Kalau begitu untuk yang
terakhir, ada yang ingin kamu sampaikan ke kelas X-1 Ali?”
Salam kenal semuanya, terima kasih sudah mendengar saya bicara. Semoga
kita semua bisa berteman baik ke depannya. “Hei kamu bidadari yang pake bando putih di
sana, siapa namamu?” Pernah tidak terjadi pada kalian, ketika sudah
mempersiapkan hal yang ingin diucapkan namun tertukar dengan kata-kata yang
terkubur dalam benak dan juga ingin sekali keluar? Ali merasa hidupnya
benar-benar sebuah candaan ketika di menit-menit pertamanya masuk kelas, semua
orang sudah tahu siapa yang Ia taksir, akibat sebuah ketidaksengajaan konyol.
Murid-murid lain tertawa, bertepuk tangan dan
berteriak menggoda. Mereka juga memojokkan gadis manis itu untuk menjawab
pertanyaan Ali. Gadis itu jadi agak salah tingkah, dan dari mulutnya mulai
terucap kata, “Eh..mmm… Namaku… Firza.” Firza menjawab dengan gugup. Persetan
dengan semua kesialan yang sering menimpanya. Pada akhirnya hari itu Ali mendengar
suara terindah yang pernah Ia dengar selama hidupnya.
To be continued…
Epilog.
“Seriously?” Yaya melihat corat-coret Ali pada
bagian belakang buku sekolahnya. Awalnya Ia hanya ingin memastikan bahwa
kakaknya benar-benar mengikuti sekolah dan tidak mangkir ke tempat lain. Namun
Ia tidak menemukan apapun di bagian depan buku tulis dan menemukan corat-coret
itu di bagian belakang bukunya. Dengan perlahan Ia keluar dari kamar yang
berantakan itu dan menuruni tangga. “Apa yang mau dilakuin kakak coba, kalau
sekarang dia bener-bener ke Jepang dengan gambar corat-coret kayak begitu.” Ujar
Yaya sambil duduk di samping ayahnya yang sedang menonton TV.
“Yaya denger kata Ayah, Ayah bukannya tidak mau
mendukung ketertarikan kalian tentang hobi-hobi lain. Seperti Yaya yang suka
main balet, asal tidak mengganggu sekolah. Karena sekolah itu penting Yaya.
Banyak hal yang harus kalian ketahui dari dunia ini.” Kata Rudi pada anak
perempuannya.
“Eh tapi, sebenarnya mendukung mimpi anak itu
juga bagian dari tugas orang tua loh, dari video youtube yang aku tonton
kemaren.” Suara Mama yang terdengar dari dapur turut menyambung.
“Mimpi apanya!” Tangkis Rudi. “Ingat nggak 6 bulan yang lalu dia pingin jadi pemain skateboard professional? Tuh buktinya dia nabung beli skateboard juga sekarang enggak pernah dipake. Terus waktu dia kelas 2, tiap hari kerjanya nonton tinju terus waktu diajak main temenku latihan tinju dia langsung berhenti karena tangannya sakit. Dan masih banyak lagi kan dia kelakuan anehnya itu Mah! Kalo dia mau bener-bener ngotot, dan bisa buktikan dia akan membawa hasil dari sana, mau ke Jepang, ke Korea, China ke mana aja Ayah akan cari biayanya! Ngutang kalo perlu!”
“Tapi yang ini marahnya lama juga lo Yah… sampe
tadi pagi masih enggak mau tegur sapa sama Mama. Padahal Mama enggak ikut
campur apa-apa sama pertengkaran kalian.”
“…Kayaknya besok sih udah balik ke semula Mah,
tadi Ayah lihat dia pulang dari sekolah udah senyum-senyum sendiri.”
Yaya tertawa geli mendengar percakapan kedua
orang tuanya.
Comments
Post a Comment